Humas DJPU
Minggu, 05 Maret 2017
MAKASSAR - Direktur Jenderal Perhubungan Udara Agus Santoso melakukan kunjungan kerja ke wilayah Gorontalo dan Sulawesi Barat pada 3-5 Maret 2017. Dalam kunjungan kerja tersebut, Dirjen Perhubungan Udara melakukan beberapa kegiatan. Di antaranya beraudiensi dengan Plt Gubernur Gorontalo di Bandara Pohuwato dan Gubernur Sulawesi Barat beserta jajarannya di Bandara Mamuju.
Selain itu Dirjen Perhubungan Udara juga melakukan inspeksi di Bandara Pohuwato (Gorontalo) dan melakukan test landing di Morowali New Airport (Sulawesi Tengah). Serta terakhir bertemu dengan Kepala Otoritas Bandar Udara Makassar.
Dalam lawatannya tersebut, Agus Santoso mengatakan bahwa industri penerbangan di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penumpang transportasi udara yang menunjukkan pertumbuhan tinggi dibandingkan transportasi lainnya. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan jumlah penumpang transportasi udara domestik sebanyak 89.358.457 penumpang, naik 16, 61 persen dibandingkan tahun 2015. Sedangkan transportasi laut hanya meningkat sekitar 0,52 persen dan kereta api sebesar 7,94 persen.
Namun peningkatan pertumbuhan industri penerbangan di Indonesia masih dibayangi dengan kecelakaan pesawat. Data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pada 2016 terjadi 19 accident dan 26 serious incident. Hal ini meningkat dari tahun 2015 yang tercatat adanya 11 accident dan 17 serious incident pesawat udara.
“Mengingat hal tersebut, permintaan kebutuhan transportasi udara yang tinggi tetap harus dibarengi dengan penyediaan pelayanan yang berprioritas kepada keselamatan. Sesuai dengan amanat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa transportasi harus mengedepankan keselamatan dan keamanan tanpa melupakan layanan kepada penumpang,” ujar Agus Santoso.
Agus melanjutkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pemangku kepentingan di penerbangan nasional. Baik itu dari operator penerbangan, pengelola bandar udara, pengelola navigasi penerbangan, BMKG dan Otoritas Bandar Udara.
Terkait operator penerbangan:
Untuk maskapai penerbangan, diminta untuk serius dalam menimplementasikan prosedur yang tertuang dalam company operations manual (COM), company maintenance manual (CMM) dan safety management system (SMS).
Pengelola maskapai juga harus melaksanakan simulator training dengan database yang updated yang sesuai dengan daerah operasi pilot. Jika beroperasi di Papua maka pilot dipersyaratkan melaksanankan mountaineous flying training.
Operator penerbangan diwajibkan mengoperasikan pesawat udara disesuaikan dengan fasilitas dan spesifikasi teknis operasional bandar udara mengingat sering terjadinya runway excursion.
Pihak management maskapai harus melakukan pemantauan lapangan (on-duty) oleh ke wilayah out station-nya secara random dan bergantian sebagai shock therapy jangka pendek, khususnya ke wilayah Papua yang sangat rentan dengan kejadian.
Agus juga mengingatkan untuk semua pemegang AOC, OC dan PSC 141 wajib mengimplementasikan regulasi secara konsisten.
Terkait pengelola bandar udara:
Untuk pengelola bandar udara, Agus mengingatkan agar comply terhadap CASR 139 dalam hal inspeksi dan perawatan runway (rubber deposit removal, overlay tepat waktu, overlay weakspot, dan monitoring foreign object debris).
Pengelola bandar udara khususnya BUBU holder harus memiliki alat MuMeter untuk mengukur kekesatan runway (skid resistance) yang mengacu pada peraturan KP 94 tahun 2015 tentang Pedoman Program Pemeliharaan Konstruksi Perkerasan Bandar Udara (Pevement management system). Sehingga tidak ada alasan untuk mengundurkan jadwal hingga melebihi jatuh tempo pengukuran kekesatan runway karena menunggu giliran pemeriksaan oleh Balai Tenik Penerbangan.
Untuk meningkatkan pelayanan keselamatan, maka bandar udara diberikan tugas untuk memberikan informasi ketinggian air di permukaan runway secara real time yang diteruskan ke ATC dan selanjutnya diinformasikan kepada pilot. Hal ini bertujuan agar pilot dapat melakukan landing distance calculation pada wet runway. Oleh karena itu diperlukan alat pengukur ketinggian air (standing water) di permukaan runway mengingat Indonesia merupakan negara dengan curah hujan tinggi.
Pengelola bandar udara juga harus tegas terkait penutupan bandar udara pada saat limit telah dibawah minimal (visibility dan water). Sehingga tidak ada pilot yang mencoba-coba untuk mendarat pada kondisi tersebut.
Pengelola bandara besar harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lapangan terbang (airstrip) yang pengoperasiannya belum sesuai dengan standar kebandarudaraan. Di seluruh airstrip juga dipersyaratkan adanya personel kebandarudaraan.
Terkait pengelola navigasi penerbangan:
Agus juga menyatakan agar pengelola navigasi penerbangan segera melakukan pemasangan peralatan navigasi yang sesuai standar di daerah Indonesia Bagian Timur mengingat jumlah peralatan navigasi di lokasi tersebut masih kurang. Peralatan tersebut seperti ILS, ADS-B, NDB, VOR dan DME.
Pengelola lalulintas udara diminta untuk menyediakan prosedur khusus (PBN) di ruang udara Papua.
Untuk pesawat udara yang beroperasi di daerah mountaineous area, khususnya untuk pesawat kecil (normal category) perlu dilengkapi dengan peralatan komunikasi yang memadai mengingat alat komunikasi HF tidak efektif bahkan lebih berfungsi peralatan komunikasi SSB. Dalam hal terbatas dapat dipergunakan untuk jangka waktu tertentu menggunakan alat komunikasi SSB.
Terkait BMKG:
BMKG diminta untuk melakukan pemutakhiran informasi cuaca dalam mendukung pengoperasian pesawat udara di Papua mengingat cuaca di daerah tersebut rentan perubahan. Selain itu diperlukan penambahan stasiun meteorologi (BMKG) di wilayah Papua.
Juga harus dilakukan penambahan pembangunan infrastruktur listrik dan jaringan IT guna meningkatkan performan stasiun meteorologi dalam hal penyediaan informasi cuaca.
Menyediakan peralatan windshear detector megingat banyaknya bandar udara yang berada di wilayah pegunungan.
Terkait Otoritas Bandar Udara (OBU):
Peran Otoritas Bandar Udara harus diperkuat untuk pengawasan dengan menambah jumlah inspector penerbangan dan dilakukan upgrading training yang saat ini dinilai masih kurang.
OBU harus membuat mekanisme pengawasan dan diimplementasikan secara berkesinambungan terhadap keselamatan penerbangan (safety oversight).
OBU juga diminta menerbitkan pengaturan tersendiri (specific regulations) untuk dipergunakan dalam operasi penerbangan di Papua.
Sangat diperlukannya kerjasama antar inspektur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara dan inspektur Otoritas Bandar Udara di wilayah Indonesia bagian timur (OBU Wilayah IX dan X) untuk melakukan surveillance dan inspeksi kelaikan udara di Papua secara berkesinambungan guna mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan.(HUMAS)
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Jalan Medan Merdeka Barat No 8, Gambir, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10110, Indonesia
Copyright © 2024 Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. All Rights Reserved.